HIDUPKATOLIK.com – Kita akan segera melaksanakan pesta elektoral. Bersamaan dengan itu, elite-elite politik semakin gencar melakukan konsolidasi. Hal seperti ini amat baik, karena dengannya, rakyat mendapatkan informasi komprehensif tentang figur yang akan diberikan kepercayaan. Kita juga berharap, agar elite-elite memberikan edukasi politik yang benar.
Dengan demikian, momentum elektoral tak menciptakan situasi distortif. Mereka harus mengantisipasi munculnya fragmentasi dan polarisasi masyarakat. Namun demikian, harus diakui bahwa cikal-bakal distorsi dan polarisasi sudah mulai bermunculan. Ruang publik kita telah menjadi rahim bagi lahirnya politik kebencian. Kalau tak ditangkal, maka hal semacam ini akan menghancurkan wajah demokrasi elektoral kita.
Salah satu hal yang berpotensi mendekonstruksi politik elektoral kita adalah viralisasi narasi kebencian. Narasi kebencian didesain secara pragmatik, mengaduk-aduk emosi publik dan mengabaikan kebenaran obyektif. Fenomena ini, oleh Ralp Keyes (2004) digelar dengan istilah pasca kebenaran atau oleh Tim Oxford Dictionaries (2016) dinarasikan sebagai berkurangnya pengaruh kebenaran obyektif dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.
Hal semacam ini tampak dalam eksploitasi isu-isu yang tidak obyektif. Ada sekelompok orang yang bertugas (juga ditugaskan) meracik cara berkampanye yang mengabaikan yang sebenarnya sambil berusaha “mempersekusi” lawan politik. Oleh Cherian George (2016), mereka disebut sebagai makelar yang berusaha memodifikasi provokasi menjadi gerakan kolektif-publik. Para makelar itu berusaha menjebak publik agar antipati terhadap tokoh politik tertentu. Mereka menginstrumentalisasi rakyat agar menjadi “hakim publik” yang mengadili lawan politik dengan mengabaikan aspek obyektif, etik, moral, dan hukum. Caranya adalah kanalisasi rakyat melalui cara berpolitik barbarian ala Machiavelli di ruang publik.
Hegemoni para makelar kebencian seperti ini tentu saja merugikan demokraski. Selain karena nir-edukasi politik, hal seperti ini jugalah yang menciptakan keretakan sosial. Momentum elektoral yang diharapkan menjadi saat paling efektif untuk menciptakan proses elektoral yang sehat dan ugahari pun sulit direalisasikan. Rakyat yang semestinya menjadi aktor utama dalam berpolitik dijadikan alat politik untuk mendiskreditkan orang yang berbeda pilihan politik. Maka, ruang publik kian merawat embrio disintegrasi.
Dalam keadaan seperti ini, “intervensi” Gereja amat dibutuhkan. Gereja memang tak berpolitik praktis, tapi bertanggung jawab mencegah polarisasi akibat viralisasi narasi kebencian. Gereja harus mengusahakan agar umat Allah tak terkooptase. Umat Allah harus tetap bersatu (Yoh. 17:21).
Di sini, Gereja mesti memastikan bahwa narasi kebencian melalui ruang publik merupakan penyangkalan terhadap esensi politik itu sendiri. Sebab politik tak pernah berkaitan kebencian, tapi selalu berusaha menciptakan kebaikan, solidaritas, pluralisme dan cinta kasih, serta keutuhan sosial. Umat Allah harus dibentengi dari gerakan politik adu-domba yang mengabaikan diskursus rasional karena mengedepankan politik kebencian.
Gereja juga mesti memastikan, bahwa lembaga-lembaga manusiawi harus melayani martabat serta tujuan manusia, melawan segala perbudakan sosial politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia (GS 29). Untuk itu, Gereja perlu mendesain model pastoral integratif yang mencegah agar umat Allah tak terkontaminasi dan terpolarisasi agenda politik kebencian. Kelompok-kelompok umat mesti diberi pemahaman secara berkala tentang jebakan serta efek politik kebencian. Frame politik pragmatik lewat menjamurnya narasi-narasi kebencian harus dilawan dengan menguatkan narasi-narasi cinta kasih, toleransi, pluralisme yang berpedoman pada ajaran Kristus dan Pancasila. Hal seperti ini mesti terintegrasi dalam program pastoral Gereja di tahun politik.
Inosentius Mansur
No comments:
Post a Comment