St. Fransiskus dari Asisi dan para saudara/i hewan |
Makna Injil bagi Fransiskus. Pertama-tama, bagi Fransiskus Injil (Kitab Suci) adalah firman/ sabda Allah. Jika kita melihat kehidupan dan tulisan-tulisan Fransiskus, maka langsung dengan jelas terlihat bahwa Allah dan sabda-Nya – seperti juga Ekaristi Kudus – menempati posisi sentral, karena hal tersebut sepenuhnya sesuai dengan cara hidup Injil Suci yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Dalam Wasiatnya, Fransiskus menulis: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorang pun menunjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahakuasa sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14).
Dengan demikian, bagi Fransiskus (tentunya bagi semua anggota keluarga besar Fransiskan), Injil lebih daripada sekadar sekumpulan teks bersifat statis yang dibacakan dalam Misa Kudus, kemudian ditinggalkan ketika orang mulai menjalani hidup ‘spiritual’-nya. Injil merupakan sumber segalanya bagi orang kudus ini. Dari sumber itu Fransiskus minum air pengetahuan pemberi hidup yang menjadi dasar dari pengalaman rohaninya, sehingga pada akhirnya dia mengakui bahwa bagi dirinya Injil adalah Yesus sendiri, Sabda Allah yang hidup, yang menjadi daging dan hidup di tengah-tengah kita hari ini. Tidak mengherankanlah apabila Fransiskus berkata: “Saudara-saudaraku, aku tahu Kitab Injil – aku mengenal Kristus yang miskin.” [1]
Hidup Injili. Kita sama-sama telah mengetahui bahwa Injil berarti Kabar Baik. Kenyataannya adalah memang begitu. Hal ini merupakan salah satu gagasan atau ide kunci dalam kehidupan Santo Fransiskus setelah pertobatannya. Orang kudus ini begitu tergetar harinya ketika menemukan keindahan dan kesederhanaan ide berikut ini: Kabar Baik bahwa Allah adalah Bapa kita! Bapa itu mengasihi kita! Kristus adalah Saudara kita! Kita adalah anak-anak Allah, yang sungguh-sungguh memiliki hidup-Nya. Kita adalah saudara dan saudari Kristus dan juga bersaudara satu sama lain. Roh kasih Allah hidup di dalam diri kita masing-masing. Dalam Yesus Kristus, kehidupan kita adalah kudus dan terjamin. Oleh karena itu, Yesus Kristus dan Injil-Nya merupakan pusat kehidupan Santo Fransiskus. Maka Kristus dan Injil-Nya juga harus menjadi pusat kehidupan semua anggota keluarga besar Fransiskan.
Pada awal hidup pertobatannya ada pembacaan Injil, demikian pula beberapa saat menjelang akhir hayatnya. Dengan demikian sabda Allah membentuk ruang gerak, di dalam mana Fransiskus memberikan kepada dunia sebuah tanda baru cintakasih Allah yang luarbiasa, yang secara paling sempurna diungkapkan dengan pemberian Putera-Nya yang tunggal, Yesus Kristus (bdk. Yoh 3:16-17).
Fransiskus juga berjumpa dengan Yesus dan Injil-Nya dalam diri orang-orang miskin dan hina-dina yang ada di sekitar dirinya dan dia menemukan dalam diri mereka suatu sumber kegembiraan sejati. Selama hidupnya yang relatif singkat itu, Fransiskus menghadapi berbagai tantangan hidup. Untuk itu dia melibatkan diri dalam perjuangan tanpa-henti guna menanggapi tantangan-tantangan tersebut. Dia tidak pernah mundur dari keyakinannya, bahwa kitab Injil adalah buku pedoman untuk suatu kehidupan yang penuh dan bijaksana; suatu pengaruh ilahi yang memimpin orang-orang untuk terlibat dalam dunia dengan penuh gairah, dengan semangat yang berkobar-kobar; sebuah peti harta karun yang berisikan sabda-sabda aktual dan kegembiraan abadi. Dalam keluguan tanggapannya atas pesan Injil yang terkadang memberi kesan terlalu harfiah, Fransiskus secara sederhana berkata: “Inilah Firman Allah yang hidup. Ia berbicara kepada kita pada hari ini. ‘Peraturan Hidup’ apa lagi yang kita butuhkan?” [2]
Sebuah cerita. Berikut ini adalah cerita yang diadaptasi dari “Kisah Tiga Sahabat’ (K3S 28-29)[3]: Alkisah ada dua orang berniat mengikuti Fransiskus, yaitu Bernardus dari Quintavalle dan Petrus Catanii. Kata Fransiskus kepada mereka: “Besok pagi kita akan pergi ke gereja (gereja Santo Nikolaus) dan di sana kita akan belajar dari Injil bagaimana Tuhan memberi instruksi kepada para murid-Nya.” Dalam keluguan serta kesederhanaan mereka, mereka tidak dapat dapat menemukan ayat-ayat dalam Injil Suci yang berhubungan dengan ‘meninggalkan dunia’. Oleh karena itu dengan ketulusan-hati mereka berdoa semoga Allah mau menunjukkan kehendak-Nya kepada mereka, lewat kata-kata pertama yang mereka lihat dan baca pada saat membuka Kitab Suci. Fransiskus berlutut di depan altar sambil memegang Kitab Suci. Pada saat dia membukanya sebanyak tiga kali, dia membaca ayat-ayat yang jelas-gamblang serta tanpa-kompromi, seperti berikut ini:
“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga” (Mat 19:21; bdk. Mrk 10:21; Luk 18:22);
“Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat dan bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk 9:3; bdk. Mat 10:9-10; Mrk 6:8-9);
“Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24; bdk. Mat 10:38; Mrk 8:34; Luk 9:23; Luk 14:27).
Setiap kali membuka Kitab Suci itu Fransiskus mengucap syukur kepada Allah atas peneguhan niat dan keinginan yang sudah lama dikandungnya dalam hati. Setelah tiga kali peneguhan itu diberikan dan dinyatakan, Fransiskus lalu berkata kepada dua orang saudara yang mau mengikutinya itu: “Saudara-saudara, inilah hidup dan ‘Peraturan Hidup’ kita. Demikianlah agar begitu juga untuk semua orang yang mau bergabung dengan paguyuban kita. Nah, pergilah sekarang dan bertindaklah sesuai dengan apa yang engkau telah dengar!” (bdk. 1Cel 24-25; LegMaj III:3). Peristiwa di gereja Santo Nikolaus itu terjadi beberapa waktu setelah peristiwa yang dialami oleh Fransiskus sendiri di gereja San Damiano, pada pesta Rasul Matias, 24 Februari 1209 (1208?). Pada waktu itu imam di gereja itu –atas permohonan Fransiskus – menjelaskan kepadanya arti bacaan Kitab Suci dalam Misa Kudus, yang ditanggapi oleh Fransiskus dengan penuh sukacita dalam Roh Allah: “Inilah yang kucari, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku” (1Cel 22; LegMaj III:1; K3S 25).
Setelah peristiwa istimewa itu, Bernardus yang amat kaya itu pergi menjual segala miliknya dan mengumpulkan banyak uang. Ia membagi-bagikan semuanya kepada orang miskin di kota. Petrus pun sedapat-dapatnya menepati nasihat ilahi. Kemudian mereka mengenakan jubah seperti yang dikenakan Fransiskus. Sejak saat itu mereka hidup bersama Fransiskus sesuai dengan pola Injil yang dinyatakan Tuhan kepada mereka.
Injil yang menjadi daging. Menurut Stoutzenberger & Bohrer, Fransiskus yakin (malah terkesan bersikeras), bahwa Injil adalah jalan menuju Allah dan tonggak penunjuk jalan bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. Sering kita terkesan bahwa Fransiskus menafsir Kitab Suci secara harfiah. Malah ketika kelompoknya kian membesar dan telah memperoleh persetujuan dari Sri Paus, Fransiskus mau agar Injil tetap menjadi ‘Peraturan Hidup’ bagi para pengikutnya. Namun demikian, sebenarnya Fransiskus memahami Injil Suci seperti umat Kristiani abad-abad pertama memahaminya. Di masa-awal Gereja umat Kristiani tidak memiliki Kitab Suci seperti sekarang, akan tetapi mereka mempunyai pengalaman akan sapaan Roh Kudus pada saat-saat mereka bertemu dengan para saudara (umat) Kristiani yang lain, pada saat-saat mereka sendiri maupun bersama-sama menderita karena penganiayaan serta penolakan, pada saat-saat mereka mendengarkan sabda-sabda Yesus dan pada saat-saat mereka menyaksikan pengulangan tindakan-tindakan Yesus oleh sesama anggota Gereja, pada saat-saat mereka bersama-sama berkumpul untuk beribadah bersama, misalnya pada waktu berjumpa dengan Yesus Kristus dalam Perayaan Ekaristi Kudus.
Fransiskus ingin melihat ‘Injil yang menjadi daging’, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam diri para saudara yang mengikuti dia, sehingga dengan demikian dia dan para saudara pengikutnya menjadi ‘dapat dipercaya’ (credible) di mata orang-orang yang tidak/belum percaya, atau umat Kristiani yang masih menjaga jarak dengan Injil. Fransiskus dan para saudaranya itu berupaya untuk menghayati Injil, baik dalam semangat maupun perbuatan nyata.[4]
Kita akan merefleksikan pengalaman rohani Fransiskus. Kita akan lihat bahwa pengalaman seperti itu, meskipun bersifat unik, juga penuh dengan nilai praktis bagi kita semua yang mencoba untuk menjadi seperti dia.
Pengalaman rohani Santo Fransiskus
Pater John Harding OFM[5] menyatakan bahwa pengalaman rohani Fransiskus itu bersifat alkitabiah (scriptural) dan sekaligus gerejawi (ecclesial). Hal ini penting untuk dicermati sejak awal karena pengalaman rohani yang juga mencakup unsur gerejawi, jelas membedakan Fransiskus dengan para tokoh gerakan kerohanian lain pada zamannya. Namun aspek gerejawi ini tidak disoroti secara khusus dalam kesempatan ini.
Salah satu ciri dari kharisma Fransiskus adalah mempelajari sabda Allah dalam suasana doa; suatu ‘prayerful study of the Word of God’ (menurut istilah Sdr. John Harding OFM)[6] agar supaya dia dapat mengetahui secara lebih sempurna apa kehendak Allah bagi dirinya dan bagi para pengikutnya. Bagi Fransiskus, sabda Allah merupakan suatu manifestasi yang hidup dan bersifat pribadi dari kehadiran Allah yang tak kunjung hilang, dengan demikian membuat tuntutan-tuntutan yang bersifat mutlak. Kitab Suci, kalau dibaca dengan penuh kerendahan hati dan cinta kasih, merupakan sebuah sumber pengetahuan mengenai Allah maupun mengenai diri sendiri (lihat 2Cel 102).
Santo Fransiskus dan Sabda Allah
Secara lebih khusus, Kitab Suci mewahyukan sabda Allah yang diucapkan dan yang ‘dikirim’ ke bumi. Dengan demikian pengalaman rohani Fransiskus merupakan pengalaman akan seorang pribadi, Sabda Allah yang tidak lain adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Dalam diri Yesus Kristus dinyatakanlah segala sesuatu yang dapat diketahui mengenai Allah dan pengetahuan yang disebutkan di atas, yang dalam tatanan hubungan cintakasih dihadirkan secara berkesinambungan bagi kita oleh kuasa Roh Kudus. Dengan demikian ‘Sabda Allah yang tertulis’ menjadi ‘Sabda Allah yang hidup’, yang adalah “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (lihat Yoh 14:6). Jelaslah mengapa dalam kehidupan dan tulisan-tulisan Fransiskus, Kitab Suci bersama-sama dengan Ekaristi menempati tempat yang sentral.
Dalam Injil, Fransiskus berjumpa dengan pribadi Yesus dalam segala kemanusiaan dan keilahian-Nya. Perjumpaan sedemikian menuntut suatu tanggapan berupa ketaatan total dalam hal kemiskinan dan kerendahan hati. Fransiskus membuat tanggapan seperti itu sehingga dia menjadi sebuah pola dasar dari kemanusiaan yang baru.
Dalam semangat penolakan Injili secara total terhadap hal-hal duniawi, ‘Si Kecil Miskin dari Assisi’ ini menyerahkan dirinya secara definitif ke dalam cintakasih kepada Allah; Allah yang adalah cintakasih murni itu sendiri (lihat 1Yoh 4:8.16). Dengan mengikuti jejak (meniru) Yesus Kristus ini, Fransiskus sesungguhnya mengaktualisasikan tuntutan-tuntutan Injil. Dengan demikian dia juga menunjukkan bahwa mungkinlah bagi semua orang untuk melakukan penyerahan diri yang sama, tanpa harus menjadi kurang manusiawi dan tanpa mencabut tanggung-jawab orang-orang itu terhadap/kepada dunia. Patut dicatat bahwa ketaatan yang penuh kesetiaan kepada pribadi Yesus Kristus tidak lebih daripada suatu komitmen total terhadap dunia ini, karena bukankah Yesus diutus oleh Bapa surgawi untuk datang ke dunia karena demikian besar kasih-Nya kepada dunia ini dan demi menyelamat-kannya? (Yoh 3:16-17). Dengan demikian ada misi untuk mengilahikan dunia dan bekerja sama dengan tatanan alam raya. Melakukan hal itu berarti bekerja sama dalam tindakan penyelamatan Allah. Cintakasih Fransiskus kepada ciptaan berakar pada cintakasih-Nya kepada ‘Sang Sabda Allah yang menjadi daging’ (lihat Yoh 1:14), yang dipelajarinya lewat proses ‘mendengarkan dengan penuh perhatian’ serta memeditasikan ‘sabda Allah yang tertulis’.
Dalam riwayat hidup pertama Fransiskus, Beato Thomas dari Celano menulis:
“Niatnya yang tertinggi, hasratnya yang terutama dan tujuannya yang terbesar ialah menepati Injil Suci dalam segala-galanya dan melalui segala-galanya. Dengan kewaspadaan sempurna, segala semangat dan segenap hasrat batin serta kehangatan hati dia menuruti ajaran dan mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam renungan terus-menerus ia mengingat-ingat sabda-sabda Kristus dan dalam permenungan yang tajam ia memikirkan lagi karya-karya-Nya. Terutama kedinaan penjelmaan-Nya dan cintakasih dalam sengsara-Nya memenuhi ingatannya begitu rupa, sehingga dia hampir tidak mau memikirkan sesuatu lainnya” (1Cel 84).[7]
Di sini kita melihat suatu identifikasi yang erat antara ‘sabda Allah yang tertulis’ dan ‘Sang Sabda Allah yang menjadi daging’. Ini merupakan suatu hal yang biasa saja kalau kita mengingat kemauan-tekun Fransiskus untuk menyediakan waktu agar dapat berdoa dan berada sendirian bersama Allah. Di lain pihak Fransiskus juga tidak tinggal diam, dia melaksanakan sabda Allah dalam kehidupannya. Fransiskus memahami benar bahwa kontemplasi tidak terpisahkan dari karya kerasulan aktif, karena menurut dia dua macam kehidupan itu berarti ‘hidup sesuai dengan Injil Suci’. Hal ini pun kemudian menjadi tradisi Fransiskan dari abad ke abad. Bacalah LegMaj I:5 sebagai bahan acuan tambahan.
Santo Fransiskus adalah seorang pelaku firman
Di atas telah disinggung bahwa Fransiskus ingin melihat ‘Injil yang menjadi daging’ dalam dirinya sendiri dan juga dalam diri para pengikutnya, sehingga dengan demikian dia dan para saudara pengikutnya memiliki kredibilitas (dapat dipercaya) di mata orang-orang tidak/belum beriman Kristiani dan juga bagi orang-orang yang menyebut dirinya sudah percaya, tetapi masih ‘menjaga jarak’ dengan Injil Tuhan Yesus Kristus. Fransiskus dan kawan-kawannya sungguh berjuang untuk menepati Injil Tuhan Yesus, dalam semangat dan dalam perbuatan nyata.
Fransiskus sebenarnya juga seorang ‘manusia normal’ seperti kebanyakan kita. Dia mencari kehendak Allah dalam sebuah dunia yang penuh kerumitan dan dalam sebuah Gereja yang sedang bermasalah dan bingung. Namun Santo Fransiskus mampu berbuat sesuatu yang indah di mata Allah, karena dia peka terhadap Allah yang berbicara kepadanya melalui Injil/Kitab Suci. Lagipula dia juga memiliki tekad bulat untuk menjadi seorang pelaku firman, bukan sekadar pendengar firman (lihat Yak 1:22-25). Sekarang bagaimana dengan cara kita sendiri waktu membaca Kitab Suci atau mendengar orang lain membacakan Kitab Suci?
Seorang imam kongregasi Mill Hill Missionaries yang juga pakar Kitab Suci, John Wijngaards MHM, mengatakan bahwa Fransiskus memiliki iman yang luarbiasa akan Kitab Suci dan rasa hormat yang luarbiasa pula terhadap Kitab Suci itu. Namun apabila kita pelajari berbagai tulisannya, tidak ada penekanan khusus akan perlunya pembacaan tulisan-tulisan Kitab Suci. Sikapnya terhadap studi teologi/Kitab Suci sudah kita ketahui. Pesan Fransiskus, menurut Wijngaards, adalah kurang lebih begini: Janganlah membuang-buang waktu dengan mempelajari Kitab Suci; tetapi praktekkanlah apa yang dituntut oleh Kitab Suci itu. Jadilah pelaku firman, jangan hanya menjadi pendengar firman saja. Bagi Santo Fransiskus, sabda Allah hanya menjadi riil apabila dipraktekkan olehnya. Cara hidup Fransiskus adalah tidak lain daripada mengambil-alih sabda-sabda Yesus secara literer (namun tidak fundamentalistis). Bagi Wijngaards ‘Peraturan Hidup’ atau ‘Anggaran Dasar’ yang disusun oleh Fransiskus adalah seperti suatu rangkaian-bunga sabda Allah. Namun itu pun tidak lebih daripada upaya orang kudus ini untuk melaksanakan suatu program yang sudah digelar dalam Injil. [8]
Dalam Speculum Perfectionis (Cermin Kesempurnaan) ada sebuah cerita yang cukup kita kenal. Cerita ini memberi gambaran sikap Fransiskus terhadap Kitab Suci. Pada waktu itu Fransiskus berdiam di Santa Maria dari Portiuncula. Pada suatu hari seorang perempuan tua yang miskin datang ke biara untuk meminta derma. Dua orang anak laki-laki dari perempuan ini adalah anggota Ordo Saudara Dina. Pada waktu itu yang menjadi Minister Jenderal adalah Sdr. Petrus Catanii. Fransiskus bertanya kepada Saudara Catanii: “Apakah yang dapat kita berikan kepada ibu kita ini?” Santo Fransiskus memang suka mengatakan bahwa ibunda dari seorang saudara adalah ibundanya juga dan ibunda segenap saudara. Atas pertanyaan tadi Sdr. Catanii menjawab: “Tidak ada apa-apa dalam biara yang dapat kita berikan kepadanya, karena yang diperlukan olehnya adalah yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya (kebutuhan faali). Akan tetapi di dalam gereja ada Kitab Perjanjian Baru yang kita pakai untuk bacaan pada ibadat matin (matutinum).” Pada masa itu para saudara tidak mempunyai buku Ibadat Harian (brevier) dan ada sedikit mazmur saja. Fransiskus berkata kepada Saudara Catanii: “Berikanlah Kitab Perjanjian Baru itu kepada ibu kita, sehingga dia dapat menjualnya guna memenuhi kebutuhannya. Aku yakin tindakan ini akan lebih menyenangkan bagi Tuhan kita dan Santa Perawan daripada apabila kita membacanya.” Lalu Saudara Catanii memberikan Kitab Perjanjian Baru itu kepada perempuan yang tua dan miskin itu (SP 38)[9]
Yang dapat kita pelajari dari Santo Fransiskus
Semua orang tahu bahwa Fransiskus bukanlah seorang terpelajar, apalagi diangkat oleh Gereja menjadi seorang Pujangga Gereja. Namun siapa yang berani menyangkal bahwa dia adalah seorang kudus, sangat suci ……… sampai-sampai Paus Pius XI [10] berani memberikan penilaian bahwa Santo Fransiskus adalah seorang kudus yang paling menyerupai Yesus sendiri? Memang, Fransiskus adalah seorang mistikus dan di sinilah intelek kita harus tunduk kepada kuasa cintakasih murni yang tak dapat didefinisikan, namun menuntut pengakuan. Beginilah ‘nasib’ orang-orang yang mencoba memahami Fransiskus melulu secara intelektual murni. Dalam hal ini bukanlah berarti bahwa kita tidak dapat sampai pada pengetahuan tentang apa yang mau dicapai oleh Fransiskus.
Yang mau dikatakan di sini adalah, bahwa kalau kita mau berharap untuk menyusup ke dalam pengalaman rohani Fransiskus, kelihatannya perlulah bagi kita untuk tidak sekadar melakukan riset secara ilmiah. Kita harus melakukan perjalanan menuju tempat yang kita sendiri tidak tahu (a journey into the unknown). Menurut Sdr. John Harding, kelihatannya tidak ada cara lain untuk memahami bentuk perjalanan rohani yang ditempuh Fransiskus, selain melakukan perjalanan iman yang sama. Hanya dengan cara begini mungkinlah bagi seseorang untuk memperoleh pandangan sekilas ke dalam sifat dari pengalaman rohani Fransiskus. Ini merupakan tanggapan riil satu-satunya yang dapat dibuat terhadap sabda Allah, dan Fransiskus telah memberikan kepada kita sebuah model tentang apa yang dapat dilakukan dan apa yang akan terjadi apabila seseorang membuat tanggapan sedemikian. Tanggapan Fransiskus berupa komitmen terhadap seorang Pribadi, yaitu ‘Sang Sabda Allah yang menjadi daging’.[11] Dialah Tuhan Yesus Kristus!
Catatan Akhir
Kita telah mencoba untuk merenungkan sedikit pengalaman rohani Santo Fransiskus dari Assisi. Dalam tulisan-tulisannya dan juga riwayat hidupnya, selalu ada catatan mengenai betapa penting sabda Allah itu. Dalam ‘sabda Allah yang tertulis’, Fransiskus melihat catatan cintakasih Allah terhadap alam ciptaan-Nya dan umat manusia secara khusus. Cintakasih Allah yang tak terhingga ini dimanifestasikan secara definitif dalam pribadi Yesus Kristus, yaitu ‘Sang Sabda Allah yang menjelma’ (menjadi daging/menjadi manusia).
Fransiskus menjalani hidup pertobatan dan membuat sebuah tanggapan total terhadap tuntutan-tuntutan atas dirinya, dengan memilih cara hidup yang unik dan dengan demikian dia mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus. Dengan cara ini Fransiskus membuat sabda Allah menjadi hidup. Memang kalau kita secara tulus mencari kehendak Allah, Dia akan menyatakan diri-Nya kepada kita melalui sabda-Nya dalam Kitab Suci, seperti yang telah dilakukan-nya kepada Bapak Serafik kita. Kalau kita memutuskan untuk menjadi ‘pelaku firman’ dan bukan sekadar sebagai ‘pendengar firman’, maka Allah pun akan mengubah hidup kita.
Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa Fransiskus samasekali tidak menghendaki agar orang-orang yang mengikutinya membentuk sebuah kelompok istimewa, kelompok spesial atau kelompok elit, yang superior. Secara sederhana, sebetulnya dia hanya berkeinginan agar sebanyak orang dipimpin oleh Roh Kudus untuk menepati Injil Tuhan Yesus Kristus, memperkenankan Dia mengubah hidup mereka.
Apakah yang dinyatakan dalam ‘Peraturan Hidup’ para anggota keluarga besar Fransiskan dalam hal ini? Mari kita lihat yang disebutkan berikut ini:
Ordo I: “Anggaran dasar dan cara hidup Saudara-saudara Dina ialah menepati Injil Suci Tuhan kita Yesus Kristus sambil hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian” (AngBul I:1).
Ordo II: “Adapun pola dasar ordo saudari-saudari miskin, sebagaimana yang ditetapkan oleh Santo Fransiskus, adalah sebagai berikut: Melaksanakan Injil Suci Tuhan kita Yesus Kristus dengan hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian” (Anggaran Dasar Santa Klara I:1-2).
Ordo III Regular: “Pola hidup Saudara-saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus ialah: menepati Injil Suci Tuhan kita Yesus Kristus, dengan hidup dalam ketaatan, dalam kemiskinan dan kemurnian” (Anggaran Dasar dan Cara Hidup Saudara-saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus Fasal I:1).
Ordo III Sekular: “Anggaran Dasar dan Cara Hidup para Fransiskan Sekular ialah: menepati Injil Tuhan kita Yesus Kristus dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus Assisi, yang menjadikan Kristus penjiwa dan poros kehidupannya di hadapan Tuhan dan sesama” (Anggaran Dasar dan Cara Hidup OFS, Fasal II artikel 4).
Maka menjadi seorang Fransiskan merupakan panggilan untuk menghayati hidup Injili, sesuai dengan teladan Fransiskus. Artinya, seperti yang diwujudkan oleh Fransiskus, Tuhan Yesus Kristus dan Injil-Nya harus merupakan pusat kehidupan kita. Kita harus menepati Injil, artinya hidup sesuai dengan Kabar Baik Tuhan Yesus Kristus. Kita harus hidup sebagai anak-anak Allah, saudara dan saudari Kristus, Kenisah Roh Kudus. Secara praktis setiap detil kehidupan selalu dicontohkan bagi kita dalam kehidupan Kristus di bumi. Karena Kristus adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), maka khusus para Fransiskan sekular harus memiliki keyakinan mendalam bahwa dengan baptisan dan profesinya, mereka harus menjadi seperti Kristus yang tersalib dan mengikuti Injil-Nya sebagai ‘peraturan hidup’ mereka.[12]
Memang terasa berat. Akan tetapi kalau Allah memang memanggil kita untuk itu, Dia juga akan menganugerahkan kepada kita rahmat-Nya. Kalau kita menarik pelajaran dari kehidupan Bapak Serafik kita, ternyata yang kita perlukan adalah semangat kepercayaan seorang anak kepada Bapa di surga, seorang anak yang percaya kepada kuat-kuasa dan hikmat-kebijaksanaan serta cintakasih Bapanya (bdk. Mat 18:3). Bersama Dia tidak ada satu pun yang perlu ditakuti, tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mencelakakan kita. Tidak ada persoalan yang kita tidak dapat pecahkan dengan hikmat-kebijaksanaan dan rahmat-Nya.
Bahan-bahan untuk permenungan pribadi atau diskusi kelompok kecil
Cobalah untuk mengingat-ingat nas-nas atau cerita/narasi dalam Injil yang paling berpengaruh dalam kehidupan Saudara/saudari. Pilihlah salah satu dan renungkanlah segala jalan yang Saudara/saudari telah tempuh dalam perjalanan hidup ini karena ‘diarahkan’ oleh nas/narasi dalam Injil ini.
Tentukan seorang pribadi/tokoh dalam Injil kepada siapa Saudara/saudari merasa sangat tertarik. Mengapa pribadi/tokoh ini begitu vital bagi Saudara/saudari? Apa yang diceritakan Allah kepada Saudara/saudari melalui pribadi/tokoh ini? Bacalah lagi cerita-cerita dalam Injil mengenai pribadi/tokoh ini.
Pada saat Saudara/saudari membaca koran/majalah atau memirsa berita televisi, menurut Saudara/saudari siapa saja yang menjadi ‘Santo-santa’ (hidup) di zaman modern yang ‘edan’ ini, yang terus berusaha menepati Injil dan membawa harapan bagi dunia?
Setiap saat Saudara/saudari mempraktekkan Sabda Allah, maka Saudara/saudari menceritakan kembali cerita Yesus. Karanglah sebuah cerita (dalam pikiran atau ditulis) dari kehidupan Saudara-saudari masing-masing selama beberapa hari terakhir yang merupakan ‘Kabar Baik’. Bagaimana Saudara-saudari telah menjadi ‘Kabar Baik’ bagi orang-orang di sekelilingmu?
Baca dan renungkanlah Mat 25:31-46 dan/atau Flp 2:1-11.
Sumber-sumber penulisan di samping Kitab Suci:
Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE SAINT Volume I), New York, NY: New City Press, 1999.
Santo Bonaventura, “RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS”, (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: SEKAFI, 1990.
Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
Stephen Clissold, THE WISDOM OF ST. FRANCIS AND HIS COMPANIONS, London: Sheldon Press, 1978.
Leonard Foley OFM & Jovian Weigel OFM, THE THIRD ORDER VOCATION, Cincinnati, Ohio: Lay Franciscan Province of St. John Baptist, 1976.
C. Groenen OFM, SANTA CLARA ASISI DAN HAL-IHWAL WARISAN ROHANINYA, Jakarta: Sekafi, 1992.
Marion A. Habig OFM, ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES (English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis), Quincy, Illinois: Franciscan Press – Quincy College, 1991.
John Harding OFM, ST. FRANCIS: HERALD OF THE WORD OF GOD, TAU – Review on Franciscanism, Vol. IV, No. 4, December 1979.
Frans Indrapradja OFS, SANTO FRANSISKUS DAN KITAB SUCI, Memorandum Minister Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/02/96 tanggal 19 September 1996.
Frans Indrapradja OFS, OFS BERUSAHA MENGHAYATI HIDUP INJILI, Memorandum Minister Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/14/96 tanggal 15 Desember 1996.
Frans Indrapradja OFS, SANTO FRANSISKUS DAN KITAB SUCI (2), Memorandum Minister Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/10/99 tanggal 5 September 1999.
Frans X.T. Indrapradja OFS, SANTO FRANSISKUS DAN KITAB SUCI, bahan pembahasan pada pertemuan OFS Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta, Minggu tanggal 6 Juni 2005.
Leo Laba Ladjar OFM, KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2001.
Joseph M. Stoutzenberger and John D. Bohrer, PRAYING WITH FRANCIS OF ASSISI, Winona, Minnesota: Saint Mary’s Press-Christian Brothers Publications, 1989 (6th printing 1995).
John Wijngaards MHM, EXPERIENCING JESUS, Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1981 (2nd printing, July, 1983).
Anggaran Dasar dan Cara Hidup Ordo Fransiskan Sekular (AD OFS).
Anggaran Dasar dan Cara Hidup Saudara-saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus.
No comments:
Post a Comment