Mari kita mulai uraian riwayat hidup kedua orang kudus ini dengan beberapa patah kata tentang kota kelahiran Fransiskus dan Klara: Assisi. Dalam Komedi Ilahi (Divine Comedy), Dante Alighieri menggambarkan kota Assisi sebagai Sang Timur, tempat matahari terbit (Canto XI Paradiso, 52-54). Bahkan, ia membandingkan Fransiskus dengan sang matahari terbit. Dalam konteks kosmologi abad pertengahan inilah kita harus memahami riwayat hidup Fransiskus dari Assisi dan Klara, “tanaman kecilnya”.
Assisi sampai saat ini tetap merupakan kota abad pertengahan yang khas. Kota ini berada di atas lembah Umbria, sebuah wilayah yang dikelilingi tanah di Italia tengah. Wilayahnya relatif kecil, hanya terbentang sebesar 8.456 kilometer persegi. Kota ini juga memiliki pegunungan, perbukitan dan hutan di wilayah Appennine tengah di semenanjung Italia. Hanya sekitar 6% dari wilayahnya terdiri dari dataran. Assisi, berada pada 424 meter di atas permukaan laut, menampilkan pemandangan salah satu dataran tersebut, tapi di atasnya terdapat Gunung Subasio (1.290 meter di atas permukaan laut), sebuah gunung berbentuk kubah, ditutupi dengan hutan. Saat ini kota Assisi memiliki populasi sekitar 24,790 jiwa. Pada abad ke 12 dan 13 jumlahnya jauh lebih kecil lagi.
Dunia abad pertengahan diwarnai oleh dua kekuatan adi daya. Pada satu sisi terdapat Kaisar Romawi dan pada sisi lain Paus. Tokoh-tokoh besar mengambil kedua peran tersebut, misalnya Frederik Barbarossa sebagai Kaisar Romawi dan Inosensius III sebagai Paus. Dunia abad pertengahan didominasi dengan hal-hal yang kudus dan profan. Perbedaan antara keduanya sangatlah tipis sehingga seringkali berakhir dengan pertikaian antara kedua belah pihak. Politik dan agama digabungkan untuk mendapatkan kekuatan. Di masa inilah para ksatria berperang ke Tanah Suci, dalam mana ambisi politik dan iman memainkan peran aktifnya.
Para bangsawan feodal tetap mendominasi kancah politik di banyak kota. Termasuk kota Assisi. Kastil feodal, disebut Rocca Maggiore mendominasi kota tersebut bahkan sampai saat ini, walaupun tidak sama dengan yang ada pada abad ke-12. Kaum bangsawan tetap memberi pengaruh yang tidak kecil pada masalah-masalah lokal. Namun pada akhir abda ke-12, ada satu kelompok/kelas baru yang muncul di masyarakat tersebut, yang disebut kelas menengah, yang terdiri dari sebagian besar para pelaku bisnis. Demikianlah, di kota kecil seperti Assisi pun tetap ada pembedaan yang jelas antara kaum bangsawan yang disebut “maiores” dan kaum “minores” yang terdiri dari pedagang. Kaum minores ini merasa bahwa mereka cukup memiliki kekuatan secara finansial untuk melawan kekuatan para bangsawan. Sasaran mereka adalah melepaskan sistem feodal lama dan menggantinya dengan pemerintahan yang lebih demokratis yang saat itu disebut “Comune”.
Fransiskus lahir dalam konteks historis ini di tahun 1182. Masih tetap terbuka diskusi mengenai lokasi kelahirannya. Beberapa tempat yang dianggap sebagai lokasi kelahirannya adalah: Chiesa Nova, San Francesco Piccolino, dan Casa Paterna. Semua tempat ini terletak di sekitar lapangan di tengah kota Assisi yang disebut Piazza del Comune, didominasi oleh Kuil Romawi Minerva dan Torre del Popolo. Pada lukisan fresco yang dibuat oleh Giotto di dinding di bagian atas Basilika St, Fransiskus Assisi, kita bisa melihat suatu representasi dari lapangan ini. Lukisan dinding tersebut mungkin sudah diperbaiki saat ini. Namun hanya perbaikan kecil saja.
Fransiskus adalah anak dari Pietro Bernardone, seorang pedagang pakaian kaya raya yang sering bepergian untuk urusan bisnis ke Perancis. Bahkan Pietro diyakini tidak hadir saat istrinya, Pica, yang bertemu pertama kali dengannya di Provence, melahirkan Fransiskus. Sewaktu Pietro kembali, segera ia mengetahui bahwa anaknya sudah dibaptis di gereja katedral San Rufino dan telah diberi nama Giovanni (=Yohanes). Namun Pietro tidak menyukai nama itu dan menggantinya dengan nama Francesco (=Fransiskus) – mirip dengan nama kota yang dikaguminya yaitu Perancis.
Di dataran atas kota Assisi dimana terdapat gereja katedral San Rufino ada seorang anak lagi yang lahir sebelas tahun kemudian, pada 1193. Seorang bayi perempuan, dan ia adalah anggota sebuah keluarga bangsawan. Chiara, atau Klara, yang artinya “yang bercahaya” nama bayi itu lahir di rumah mewah yang menghadap ke arah lapangan katedral. Orang tuanya adalah bangsawan Favarone Offreduccio dan Hortulana. Klara termasuk golongan “maiores”. Sedangkan Fransiskus termasuk golongan “minores”.
Tekanan-tekanan mencuat di Assisi pada tahun 1198. Pada tahun ini Inosensius III terpilih sebagai Paus. Ia berusaha membuktikan dirinya seorang negarawan besar dan memperkokoh supremasi Gereja bahkan untuk masalah-masalah temporer. Pada musim semi tahun itu, bangsawan Konrad dari Urslingen, yang memimpin benteng Rocca di Assisi atas nama Kaisar, melakukan perjalanan ke Spoleto untuk menyerahkan Mahkota Spoleto kepada Inosensius III. Para warga Assisi kaum minores segera mendapat peluang kekosongan di benteng itu untuk merebutnya. Fransiskus mungkin berusia sekitar 16 tahun pada saat itu. Ia tentu saja ambil bagian dalam petualangan tersebut, karena jika Assisi berhasil menguasai benteng berarti menandakan independensi warga Assisi sebagai “free Comune”. Segeralah terjadi perang saudara antara kaum bangsawan (maiores) dan warga kota (minores). Keluarga Klara kemungkinan besar terpaksa mengungsi ke Perugia, kota tetangga Assisi, yang lebih besar dan lebih kuat daripada Assisi. Mereka barangkali kembali ke Assisi sekitar tahun 1203, sewaktu ditetapkan dokumen yang menyatakan perdamaian antara kaum maiores dan minores di Assisi.
Pada tahun 1202 para bangsawan Assisi yang ditawan di Perugia dikonfrontir dihadapan warga minores Assisi. Fransiskus ambil bagian dalam perang di Collestrada, yang pada akhirnya banyak memakan korban tawanan dari pihak Assisi. Fransiskus pun tertawan dan dipenjara selama 1 tahun di Perugia. Ia cukup beruntung karena ditebus dari penjara oleh ayahnya yang kaya dengan sejumlah uang. Kesehatannya yang memburuk selama di penjara akhirnya membuatnya menghabiskan banyak waktu di tempat tidur di tahun 1204.
Sewaktu Fransiskus pulih dari sakitnya, ia mulai mengidam-idamkan sesuatu yang lebih tinggi daripada yang pernah dialaminya selama ini. Kali ini ia berkeinginan menjadi ksatria. Usianya saat itu cocok untuk seorang ksatria. Cita-cita menjadi ksatria sebenarnya adalah tema lagu-lagu yang sering dikumandangkan oleh para trubadur yang berkelana dari pegunungan Alpen sampai ke semenanjung Italia. Tema lagu ini cukup membakar semangat. Maka romansa keksatriaan dan keingintenaran karena ambil bagian dalam perang salib pun menjadi impian para pemuda termasuk Fransiskus. Di tahun 1204 ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Puglie di wilayah Italia Selatan dengan tujuan bergabung bersama pasukan perang salib. Ia diharuskan bertemu dengan Walter dari Brienne untuk bergabung dengan pasukannya. Tetapi petualangannya ini tak berumur panjang. Hari berikutnya, setelah melalui malam yang membuatnya terjaga di Spoleto (para penulis riwayat hidupnya berbicara tentang penglihatan dan mimpi Fransiskus di Spoleto), dia kembali ke Assisi.
Sekembalinya di Assisi, Fransiskus dicibir oleh teman-temannya dan ayahnya kecewa. Idealismenya seakan-akan tercabik-cabik, masa depannya suram. Satu-satunya solusi praktis untuk masalah ini nampaknya adalah mengikuti jejak ayahnya berjualan kain di toko sang ayah. Barangkali solusi ini adalah solusi mudah bagi Pietro Bernardone, tetapi tidak bisa meyakinkan Fransiskus. Yang bisa ia lakukan hanyalah tinggal di dalam toko. Fransiskus juga sebenarnya bisa memilih hidup santai bersama teman-temannya. Toh ia sudah terbiasa dengan itu semua. Ia terbiasa boros dalam hal hiburan. Ia juga sudah terbiasa jika teman-temannya memilihnya menjadi pemimpin dalam tiap pesta yang diadakan. Mereka terbiasa bersenang-senang hingga larut malam, bernyanyi dengan suara keras di sekeliling jalan-jalan kota Assisi. Namun Fransiskus menjadi bosan dengan hidup “ramai” ini. Bukan itu yang ingin diraihnya. Maka sendirian, ia mulai menjelajahi daerah-daerah pedalaman di sekitar Assisi. Para penulis awal riwayat hidupnya berbicara tentang periode “konversi/pertobatan”. Mereka berbicara tentang satu periode khusus dalam hidupnya. Periode itu sungguh singkat, yaitu antara akhir tahun 1204 sampai dengan bulan pertama tahun 1206. Namun periode singkat ini dipenuhi dengan banyak refleksi.
Pada periode konversi ini Fransiskus sering pergi sendirian ke tempat-tempat tersembunyi, dan masuk ke gua-gua, di situ ia menghabiskan waktu berjam-jam. Dan sekembalinya dari tempat-tempat itu ke kota Assisi, teman-temannya sering memperhatikan raut wajah Fransiskus yang nampaknya linglung. Selain ke tempat-tempat tersembunyi, ia juga sering pergi ke dataran bawah Assisi. Di situ terdapat kumpulan orang berpenyakit kusta. Pada suatu saat ia berjumpa dengan seorang penderita kusta. Walaupun takut, ia tetap turun dari kudanya dan menyambut orang itu lalu menawarkannya uang, serta memberinya ciuman kasih. Dikemudian hari ia sering kali membagikan cerita perjumpaannya dengan orang kusta ini; bahkan menjelang kematiannya, ia tuliskan kenangan tersebut dalam wasiatnya.
Menjelang akhir tahun 1205 ada satu perjumpaan lagi yang mengubah hidupnya secara radikal. Saat itu ia berada di dalam gereja tua yang hampir tak terurus di bagian bawah kota Assisi. Gereja itu bernama San Damiano; dikelola oleh seorang imam miskin yang bahkan tak mampu membeli minyak untuk menyalakan lampu di hadapan gambar salib Kristus bergaya Byzantium. Fransiskus memandang salib itu dengan terpesona. Salib tersebut saat ini masih bisa dilihat di Basilika Santa Klara Assisi. Kristus digambarkan secara hidup pada salib itu. Corpusnya tidak tertancap pada kayu; tetapi tergambar; di latar belakangnya terdapat gambar malaikat-malaikat dan para kudus. Mata Kristus nampak terbuka lebar, dan walaupun darah terlukis keluar dari luka-lukanya, namun Ia seperti tidak merasa sakit. Salib inilah yang “berbicara” kepada Fransiskus. Para penulis riwayat
hidupnya menyatakan bahwa Kristus meminta Fransiskus untuk memperbaiki gereja tua tersebut, dengan menyebutnya “gereja Ku”. Tentu saja di mata seorang muda seperti Fransiskus yang dimaksudkan dengan “gereja Ku” adalah gereja tua tersebut yang memang memerlukan perbaikan. Maka ia memilih cara yang mudah. Ia pergi ke toko ayahnya, mengambil gelondongan kain mahal, pergi ke pasar Foligno, lalu menjual kain serta kudanya. Kemudian dengan gembira ia kembali ke gereja tua untuk memberikan uang hasil penjualannya kepada imam miskin di sana. Imam itu dengan bijak menolaknya karena tahu bahwa ayah Fransiskus pasti akan marah besar dengan tindakan eksentrik anaknya itu. Namun demikian ia mengijinkan Fransiskus untuk tinggal bersamanya di San Damiano sebagai “oblatus”, yaitu seseorang yang menawarkan dirinya untuk melayani secara suka rela pada suatu gereja tertentu dengan tujuan menjalani hidup pertobatan.
No comments:
Post a Comment